Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau
kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air
panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis
trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan
khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.
Pada
mulanya memang luka bakar merupakan topik yang dikelola oleh bedah plastik,
sebab patofisiologi kerusakan jaringan yang berhubungan dengan proses penyembuhan
luka menjadi materi pembahasan dalam ilmu bedah plastik, proses penutupan luka
juga merupakan kompetensi yang dimiliki oleh bidang ilmu ini. Namun, seiring
dengan perkembangan ilmu, khususnya bidang traumatologi dan pengetahuan
mengenai dampak cedera pada tubuh dengan kompleksitasnya, luka bakar disadari
merupakan suatu bentuk kasus trauma yang memerlukan penanganan multidisipliner
dan atau interdisipliner. Oleh karena itu selanjutnya penanganan luka bakar
lebih tepat dikelola oleh suatu tim trauma yang terdiri dari para spesialis di
lingkungan bedah (spesialis bedah, bedah plastik, bedah toraks, bedah anak),
intensifis, spesialis penyakit dalam khususnya hematologi, gastro-enterologi,
dan ginjal-hipertensi, ahli gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan psikologi.
Permasalahan pada Luka Bakar
Permasalahan pada luka
bakar demikian kompleks. Untuk dapat menjelaskannya, maka permasalahan yang ada
dipilah menurut fase atau tahapan perjalanan penyakitnya. Dalam perjalanan penyakitnya dibedakan 3 fase pada luka bakar,
yaitu:
- Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini permasalahan utama berkisar pada
gangguan yang terjadi pada saluran nafas (misalnya, cedera inhalasi), gangguan
mekanisme bernafas oleh karena adanya eskar melingkar di dada atau trauma multipel
di rongga toraks, dan gangguan sirkulasi (keseimbangan cairan elektrolit, syok
hipovolemia). Gangguan yang terjadi menimbulkan dampak yang bersifat sistemik,
menyangkut keseimbangan cairan elektrolit, metabolisme protein-karbohidrat-
lemak, keseimbangan asam basa dan gangguan sistem lainnya.
- Fase setelah syok berakhir, fase sub
akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction
Syndrome (MODS) dan sepsis. Ketiganya merupakan dampak dan atau
perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama (cedera inhalasi, syok) dan
masalah yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka).
- Fase lanjut
Fase ini berlangsung sejak penutupan luka sampai
terjadinya maturasi jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka
bakar, berupa parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi
karena kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat proses inflamasi yang
hebat dan berlangsung lama, yang menjadi karakteristik luka bakar (misal,
kerapuhan tendon ekstensor pada jari-jari tangan yang menyebabkan suatu kondisi
klinis yang disebut bouttoniẽrre
deformity).
Pembagian / Klasifikasi Luka
Bakar
Luka bakar dibedakan
menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebab dan kedalaman kerusakan jaringan,
yang perlu dicantumkan dalam diagnosis yaitu:
- Berdasarkan penyebab:
·
Luka bakar
karena api
·
Luka bakar
karena air panas
·
Luka bakar
karena bahan kimia (asam / basa kuat)
·
Luka bakar
karena listrik dan petir
·
Luka bakar
karena radiasi
·
Cedera
akibat suhu sangat rendah (frost bite)
- Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan :
Luka bakar derajat I:
- Kerusakan terbatas pada bagian superficial epidermis.
- Kulit kering, hiperemik memberikan
efloresensi berupa eritema.
- Tidak dijumpai bula.
- Nyeri karena ujung-ujung saraf
sensoris teriritasi.
- Penyembuhan terjadi secara spontan
dalam waktu 5-10 hari.
- Contoh: luka bakar akibat sengatan
matahari.
Luka bakar derajat II:
·
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis,
berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi.
·
Dijumpai
bula.
·
Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering
terletak lebih tinggi di atas permukaan kulit normal.
·
Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik
teriritasi.
·
Dibedakan
menjadi dua:
a.
Derajat II
dangkal (superficial)
·
Kerusakan mengenai bagian superficial dari dermis.
·
Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar
keringat, kelenjar sebasea masih utuh.
·
Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu
10-14 hari.
b.
Derajat II
dalam (deep)
·
Kerusakan mngenai hamper seluruh bagian dermis.
·
Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar
keringat, kelenjar sebasea sebagian masih utuh.
·
Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung
apendises kulit yang tersisa. Biasanya penyembuhan
terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.
Luka bakar derajat III:
·
Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan
lapisan yang lebih dalam.
·
Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar
keringat, kelenjar sebasea mengalami kerusakan.
·
Tidak
dijumpai bula.
·
Kulit yang
terbakar berwarna abu-abu dan pucat, kering. Letaknya lebih rendah dibandingkan
kulit sekitar akibat koagulasi protein pada lapisan epidermis dan dermis
(dikenal dengan sebutan eskar).
·
Tidak dijumpai rasa nyeri, bahkan hilang sensasi
karena ujung-ujung serabut saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian.
·
Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses
epitelialisasi spontan baik dari dasar luka, tepi luka, maupun apendises kulit.
Perubahan metabolisme pada luka bakar
Kasus luka bakar
merupakan suatu keadaan stres metabolisme yang melibatkan respon neuroendokrin.
Keadaan ini disebut juga hipermetabolisme.
Reaksi pertama dari
luka bakar dienal dengan fase awal/fase akut/ fase syok yang berlangsung
singkat, ditandai dengan terjadinya penurunan tekanan darah, curah jantung,
suhu tubuh, dan konsumsi oksigen, serta hilangnya cairan dan elektrolit yang
mengakibatkan terjadinya hipovolemi, hipoperfusi, dan asidosis laktat.
Reaksi selanjutnya
disebut fase flow yang berlangsung selama beberapa minggu atau lebih. Pada fase
ini terjadi kondisi hipermetabolisme dan hiperkatabolisme.
Dibandingkan cedera
lainnya, terdapat fase hipermetabolisme yang ditandai dengan peningkatan
pemakaian energi yang disertai kehilangan panas melalui proses penguapan
(evaporative heat loss), peningkatan aktivitas saraf simpatis, (β adrenergik,
sebagai respon neuroendokrin), peningkatan aktivitas selular, dan pelepasan
peptida parakrin.
Peningkatan
evaporative heat loss dan stimulasi β adrenergik ini disebabkan oleh beberapa
hal:
·
Jaringan yang mengalami
kerusakan (dan atau kehilangan) tidak efektif sebagai sarana protektif.
·
Peningkatan aliran darah ke
lokal cedera sehingga panas dari sentral dilepas di daerah tersebut, dan
melalui proses evaporasi terjad kehilangan cairan dan panas yang menyebabkan
penurunan suhu tubuh (energi panas yang digunakan untuk proses evaporasi kurang
lebih 578 kcal/ L air). Dengan peningkatan aliran darah ke daerah lokal cedera,
terjadi peningkatan curah jantung secara disproporsional yang memacu kerja
jantung. Di sisi lain, peningkatan suhu pada daerah luka akibat bertambahnya
aliran ke daerah lokal cedera ini secara teoritis akan mempercepat proses
penyembuhan. Namun pada kenyataannya kehilangan panas (energi) akan
diakselerasi oleh adanya febris.
Kondisi evaporative
heat loss dan jaringan luka yang terbuka menyebabkan terjadinya kehilangan
cairan tubuh yang berlebihan, karena perlu mempertimbangkan Insensible Water
Loss (IWL) lebih banyak dari biasanya.
Perhitungan IWL pada penderita luka bakar
menggunakan persamaan:
IWL = (25 + %LB) x TBSA x 24 jam
- % LB : persentase luka bakar
- TBSA : Total Body Surface Area
Stimulasi β
adrenergik menyebabkan dilepaskannya hormon stres (katekolamin, kortisol,
glukagon), dan adanya resistensi insulin akan menyebabkan peningkatan laju
metabolisme disertai perubahan metabolisme berupa glikolisis, glikogenolisis,
proteolisis, lipolisis, dan glukoneogenesis, selain itu terjadi pula retensi
natrium, dan reabsorpsi air.
Perubahan
metabolisme pada penderita luka bakar bukan hanya terjadi oleh adanya perubahan
hormon stres saja, tetapi juga disebabkan oleh mediator sel radang seperti
sitokin, eikosanoid (prostaglandin, tromboksan, leukotrien) dan radikal bebas
yang dilepaskan ke dalam sirkulasi
menyusul terjadinya suatu cedera jaringan. Reaksi dari mediator-mediator ini
dikenal sebagai SIRS. Pelepasan sitokin seperti IL-1, IL-2, IL-6 dan TNF akan
menyebabkan keadaan hiperkatabolisme menjadi lebih berat dan berlangsung lebih
lama, keadaan tersebut akan memperburuk perjalanan penyakit pada luka bakar.
Gejala klinik yang
timbul pada status katabolik ekstensif ini adalah kelelahan, emasiasi,
kelemahan, gangguan fungsi organ vitaldan balans energi negatif. Untuk
menghadapi kondisi stres, diperlukan kebutuhan energi yang lebih besar, bahkan
pada penderita dengan luas luka bakar lebih dari 40% luas permukaan tubuh akan
terjadi penurunan BB mencapai lebih kurang 20%, pada penurunan BB 10-40% akan
dijumpai kondisi yang dapat disamakan dengan malnutrisi, sedangkan bila
penurunan BB mencapai 40-50% akan menggambarkan kondisi keseimbangan nitrogen
negatif dengan kehilangan massa protein lebih kurang 25-30%, bila kondisi ini
terjadi akan berakibat fatal.
1. Metabolisme
Karbohidrat
Glukosa adalah sumber bahan
bakar metabolik utama untuk semua komponen selular pada proses penyembuhan luka
bakar. Pada kondisi trauma berat, khususnya pada luka bakar terjadi keadaan
hiperglikemi yang disebut juga Burn pseudo diabetes.
Level glukosa darah meningkat
pada pasien luka bakar dibandingkan level sirkulasi insulin selama resusitasi.
Peningkatan hormone anti-insulin (kotekolamin, glukagon, kortisol) akan terjadi
untuk meng’counter’ efek meningkatnya
insulin, dan diperlukan untuk menjaga glukoneogenesis yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan energi pasien.
Pada daerah luka terjadi
peningkatan aliran darah setempat dan uptake glukosa tanpa disertai peningkatan
konsumsi oksigen, hal ini akan menghasilkan keadaan metabolisme anaerob yang
mengubah glukosa menjadi laktat.
Kesimpulannya, glukosa
diperlukan untuk penyembuhan luka dan fungsi imun yang pada penderita luka
bakar disuplai oleh hati dari sekuens glukosa-laktat-glukosa dari siklus Cory,
dan dari pengubahan asam amino yang disumbangkan oleh pemecahan otot perifer.
Suplai glukosa melalui support nutrisi akan mengurangi proteolisis dan
memelihara massa bebas lemak. Akan tetapi pasien luka bakAr mungkin mengalami
kesulitan memetabolisme glukosa ketika diberi asupan lebih besar dari 4-5
mg/kg/menit. Oleh karena itu maka dalam pemberian makanan tambahan harus
dilakukan perhitungan kebutuhan kalori yang sesuai untuk pasien luka bakar dan
terdiri dari lemak dan protein
2. Metabolisme
Lemak
Normalnya metabolisme lemak
menyediakan porsi energi paling besar yang digunakan pada saat ketersediaan
glukosa tidak adekuat. Rendahnya konsentrasi insulin di sirkulasi menyebabkan
peningkatan lipolisis dan ketogenesis, dan jaringan perifer diubah ke
metabolisme gliserol, asam lemak bebas, dan badan keton.
Perubahan neuroendokrin yang
menyertai luka bakar mengubah metabolisme lemak secara signifikan. Lipolisis
meningkat setelah luka bakar, sebagai respon dari meningkatnya kotekolamin di
sirkulasi, serta gliserol dan asam lemak bebas dijadikan bahan bakar oleh
jaringan yang tidak terbakar. Ketogenesis menurun pada pasien luka bakar. Badan
keton merupakan salah satu sumber energi alternatif utama yang digunakan selama periode starvasi,
hal ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan untuk glukoneogenesis. Efek protein sparring pada lemak terbatas pada luka
bakar. Penambahan kandungan lemak dalam diet yang lebih besar dari 30% dapat
merusak fungsi imun dan tidak akan menyediakan tambahan massa tubuh bebas
lemak.
3. Metabolisme Protein
Penderita luka bakar tidak
hanya menggunakan protein untuk glukoneogenesis tapi juga untuk membentuk
protein fase akut, penyembuhan luka, mempertahankan fungsi imun, serta mengganti
hilangnya protein melalui eksudat luka. Karena asam amino dilepaskan hanya oleh
jaringan yang tidak terbakar, maka konsentrasi asam amino menurun pada pasien
dengan luka bakar luas.
Akibat dari perubahan hormonal
yang terjadi, proteolisis di otot perifer
meningkat cepat dan dilepaskannya alanin dan glutamin. Alanin adalah amino acid
glukoneogenik penting, dan pengukuran pengeluaran alanin dari otot skelet pada
pasien luka bakar meningkat 3 kali lipat. Besarnya pelepasan alanin perifer ini
sebanding dengan luas luka bakar dan paralel dengan besarnya glukoneogenesis
dan ureogenesis. Disfungsi hepatik sekunder pada sepsis dan adanya penyakit
hepatik dapat mempengaruhi efektivitas perubahan alanin menjadi glukosa dan
menyebabkan komplikasi dalam managemen metabolik. Sedangkan glutamin merupakan
bahan bakar untuk epitel usus, sel imunitas, dan pembentukan amonia di ginjal.
Kesimpulannya, tujuan dari
support nutrisi adalah untuk meminimalisasi proteolisis yang terjadi dalam
rangka memenuhi kebutuhan energi, dengan cara menyediakan sumber alternatif
glukosa dan protein.
4. Metabolisme Air
pasien luka bakar mengalami
kehilangan cairan yang sangat banyak. Cairan tubuh menguap melalui kulit,
pasien memerlukan lingkungan pada suhu yang hangat dan perawatan intensif,
dalam 24 jam pertama resusitasi memerlukan cairan sampai 30 liter. Munculnya
eksudat menyebabkan lebih banyak cairan yang hilang. Selain itu temperatur
tubuh pasien meningkat dan pasien sering mengalami demam.
5. Metabolisme
Elektrolit
Hiponatemia dapat
terjadi pada pasien yang penguapan berkurang drastis karena pemakaian pembalut
atau grafting, yang akan mengubah
cairan. Atau pada perawatan menggunakan siver nitrat, yang cenderung menarik
natrium dari luka. Hipokalemia
sering terjadi selama periode resusitasi dan selama sintesis protein.
Peningkatan serum kalium dalam darah menandakan hidrasi yang tidak adekuat.
Hipokalsemia
terjadi bersama hipoalbuminemia pada pasien luka bakar yang luasnya lebih dari
30% luas permukaan tubuhnya. Kehilangan kalsium yang berlebihan terjadi bila
pasien diimobilisasi atau dirawat dengan silver nitrat. Magnesium juga mungkin
hilang melalui luka bakar sehingga memerlukan perhatian.
Hipophosphatemia
diidentifikasi pada pasien luka bakar berat. Hal ini terutama terjadi pada pasien
yang menerima cairan resusitasi dalam jumlah besar dengan infus parenteral
solusi glukosa dan pemberian antasid dosis tinggi untuk pencegahan stress
ulcer. Kadar serumnya harus dimonitor dan diperlukan suplementasi fosfat.
6. Metabolisme
Mineral
Zinc level terdepresi pada luka
bakar. Zinc adalah kofaktor dalam metabolisme energi dan sintesis protein.
Anemia dapat terjadi karena defisiensi besi, dan diterapi dengan pemberian packed red blood cells.
7. Metabolisme
Vitamin
Vitamin C dihubungkan dengan
sintesis kolagen dan fungsi imun, dan diperlukan dalam penyembuhan luka.Vitamin
A adalah nutrien penting untuk fungsi imun dan epitelialisasi.
TERAPI NUTRISI
Support nutrisi
adalah faktor yang paling penting dalam perawatan untuk pasien luka bakar.penyembuhan
luka hanya dapat terjadi pada fase anabolik. Pemberian makanan harus langsung
diberikan setelah resusitasi lengkap. Pemberian makanan enteral yang dini
(dalam 4-12 jam) memperlihatkan penurunan respon hiperkatabolik, menurunkan
pelepasan katekolamin dan glukagon, menambah berat badan, dan memperpendek masa
perawatan di rumah sakit.
Tujuan pemberian
nutrisi pada pasien luka bakar ditunjukkan pada tabel berikut.
Tujuan pemberian
Nutrisi pada pasien luka bakar
|
1. Meminimalisasi
respon metabolik dengan cara :
·
mengontrol suhu
lingkungan
·
mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit
·
mengontrol rasa sakit dan
cemas
·
menutup luka segera
2. Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan cara :
·
menyediakan kalori yang
cukup untuk mencegah penurunan berat badan lebih besar dari 10% berat badan
normal.
·
Menyediakan protein yang
cukup untuk tercapainya positif nitrogen balance dan mempertahankan atau
menggantikan cadangan protein
·
Menyediakan suplementasi
vitamin dan mineral yang diindikasikan
3. mencegah ulcer Curling dengan cara :
·
menyediakan antasid atau
pemberian makanan enteral yang kontinu.
|
1. Kebutuhan Kalori
Rumus yang telah ada tidak
dapat menghitung kebutuhan kalori pasien luka bakar secara akurat. Persamaan
Harris-Benedict kurang dapat memperkirakan kebutuhan kalori karena tidak
melibatkan faktor stress, dan studi yang dilakukan menentukan faktor stres
bervariasi dari 1.5 hingga 2.1.
AF : Actifity
factor = 1,2 - 1,3
BF : Burn
factor = 1,5 - 2,1 (deep burn).
Sebaliknya, rumus dari Curreri berlebih untuk mengukur
kebutuhan kalorinya, yaitu:
Saat ini pemberian energi untuk penderita luka bakar tidak
boleh melebihi 30-40 kcal/kg per hari.
Pengukuran metabolic rate pada
pasien luka bakar yang dirawat di United State Army Institute of Surgical
Research ( USAISR ) telah digunakan untuk merumuskan nutrisi berdasar umur,
ukuran tubuh, dan luas luka bakar. Analisis yang kini didapat dari kalorimeter
linier dengan plateau REE pada 2-2,5x BMR saat luka bakar 60% atau lebih
indirek menemukan hubungan linier antara metabolic
rate dengan luas luka bakar yang bertentangan dengan studi-studi
sebelumnya, yang menemukan kurva dari luas permukaan badan. Studi serupa di
Universitas Toronto mendeskripsikan hubungan linier antara persentase total
area tubuh yang terbakar, basal energy expenditure yang diharapkan ( diukur
dengan rumus Harris-Benedict ), suhu tubuh, jumlah hari setelah terbakar, dan
termogenik efek makanan. Kedua studi ini mengkonfirmasikan rumus berdasarkan
studi metabolic sebelumnya yang overestimate kebutuhan kalori pasien luka bakar
pada perawatan masa kini.
Hubungan antara kebutuhan
energi dan luas luka bakar konsisten untuk pasien yang bernapas bebas, tapi
variasi data dari pasien yang diberi bantuan ventilasi mekanik membuat
perkiraan kebutuhan kalori kurang akurat. Data kalorimeter indirek pada pasien
dengan ventilasi mekanik dapat menjadi tidak akurat karena adanya ventilasi
area yang mati ( dead space ),
kebocoran udara pada sistem ventilatory, dan peningkatan kerja pernapasan
selama sedasi yang inadekuat. Oleh karena itu, kebutuhan kalori pada pasien
dengan ventilator mekanik harus diukur pertama-tama dengan kalorimeter indirek
tapi harus dievaluasi respon pasien terhadap support nutrisi.
Studi longitudinal REE pada
pasien luka bakar ditemukan tidak ada hubungan antara energy expenditure dengan
luas luka bakar. Walaupun eksisi total segera dan skin grafting pada
keseluruhan luka bakar dapat menghilangkan respon hipermetabolik, eksisi luka
bakar yang dini dan penutupan luka pada 48-72 jam tidak memberikan efek pada
metabolic rate.
Penentuan kebutuhan kalori,
baik yang didapat melalui rumus ataupun dari kalorimeter indirek, harus
dikoreksi untuk aktivitas, walaupun sekarang ini dilaporkan pada pasien rawat
inap, yang sakit parah tidak memerlukan koreksi untuk aktivitas, pada pasien
luka bakar biasanya dilibatkan dalam program terapi fisik ekstensif untuk
meminimalisasi komplikasi luka bakar. Biasanya, kalori akhir yang didapat
20-25% lebih besar daripada REE.
Pemberian karbohidrat dan lemak
dengan jumlah adekuat untuk memenuhi kalori mungkin dapat menjadi komplikasi
karena perubahan substrat metabolisme dan sistem GI yang telah disebutkan
sebelumnya. Secara umum, kebutuhan kalori untuk pasien luka bakar dapat dipenuhi
dengan pemberian solusi enteral standar pada jumlah yang dapat ditolerir oleh
sistem GI. Contoh penentuan kalori menggunakan rumus USAIR diperlihatkan dalam
tabel-1.
Tabel 1 . Sampel
kalkulasi kebutuhan kalori
1. seorang pria berusia 30 thn dengan 30% TBS
luka bakar; TB=70’’, BB= 170 lb
2. BSA (m2)
= √70 x 170 = 1,95 m2
3131
3. BMR =
54,337821 -1,19961 (30) + 0,02548 (30) 2 - 0,00018 (30)3
= 36,42 kcal
4. REE = (BMR x [0,89142 + {0,01335 x TBS}] ) x BSA x 24 x AF
REE =
36,42 [0,89142 + {0,01335 x 30}] x 1,95 x 24 x 1,25 = 2752,5 kcal/hari
|
TBS = total burn size; BSA = body surface area; BMR
= basal metabolic rate;
REE = resting energy expenditure; AF= activity factor
Selain
itu, rumus Galveston biasa digunakan untuk memperkirakan kebutuhan kalori pada luka bakar segala umur sama dengan 1800
kcal/m2 + 2200 kcal/m2 dari luka bakar. Untuk anak kurang dari 3 tahun, rumus
polk dapat memperkirakan kebutuhan kalori dengan rumus :
(60 kcal x Kg BB) +
(35 kcal x % Luka bakar).
2. Kebutuhan Nitrogen
Penentuan keseimbangan nitrogen
pada pasien luka bakar disulitkan dengan kehilangan protein dari luka terbuka.
Pasien luka bakar yang dalam keadaan hipermetabolik dan starvasi dapat
kehilangan 30 gr nitrogen/hari, dengan 20-30% kehilangan terjadi pada
pembentukan eksudat serosa dari luka bakar.
Studi yang dilakukan Waxman dan
rekan-rekannya, meneliti kehilangan protein dari permukaan yang seluruh atau
sebagian ketebalan luka bakar. Peneliti-peneliti tersebut menemukan bahwa
rata-rata kehilangan protein/hari melalui luka bakar untuk akhir luka minggu
pertama dapat diperkirakan sebagai berikut:
Protein loss (g) =
1,2 x BSA (m2) x % luka bakar
Pada minggu kedua paska luka bakar kehilangan protein
menjadi tinggal setengahnya:
Protein loss (g) =
0,6 x BSA (m2) x % luka bakar
Sedangkan kehilangan Nitrogen melalui luka bakar
diperkirakan:
Untuk luka bakar hari1-3:
Nitrogen
loss (g) = 0,3 x BSA x % luka bakar
Untuk luka bakar hari ke- 4-16 dipergunakan rumus pada
tabel dibawah ini, sehingga kebutuhan protein harian dapat diperkirakan.
Kebutuhan protein per hari dapat dihitung dengan formula
berikut ini:
Kebutuhan protein = 6,25 x kebutuhan energi [kcal] / 150
Tabel-2 Nitrogen balance pada pasien luka bakar
Intake = gram
protein / 6,25
Output =
UUN/ 0,8 + 4 g* + wound factor
|
Wound factor :
Paska luka bakar hari 1-3 = 0,3 x (BSA) x (TBS)
Paska luka bakar hari 4-16 = 0,1 x (BSA) x (TBS)
|
4 g =
insensible loss
UUN = Urinary
Urea Nitrogen
TBS = Total
Body Surface area burn (%)
BSA = Body
surface area
|
Positif nitrogen balance pada pasien luka bakar
tidak dapat diperkirangan melalui konsentrasi albumin, prealbumin,
retinol-binding protein, atau transferin. Perubahan level protein visceral sebagai protein penunjang juga tidak memiliki
korelasi dengan nitrogen balance. Pertentangan ini adalah manifestasi dari
kehilangan protein yang terjadi melalui luka bakar, bersamaan dengan variabel
volume cairan infus selama periode resusitasi dan sesudahnya.
Nutrisi Enteral
Indikasi nutrisi enteral:
- Luas luka bakar >20% permukaan tubuh.
- Nutrisi alami tidak memungkinkan karena penurunan kesadaran, luka bakar pada wajah, jejas pada traktus respiratorius, trakeostomi.
- Adanya status malnutrisi sebelum luka
bakar, penyakit kronis yang parah.
Keuntungan nutrisi enteral daripada parenteral adalah:
- Memproteksi membrane mukosa intestine.
- Mencegah translokasi bakteri.
- Lebih fisiologis.
- Menurunkan resiko infeksi.
- Lebih murah.
Metode nutrisi
enteral:
- Dengan NGT.
- nasoduodenal / nasojejunal tubes
- Percutaneous gastrotome (durasi lama sampai 155 hari).
Kandungan
nutrisi enteral:
- Karbohidrat : < 5-7 mg/kg/menit.
- Protein : 23-25% dengan mempertimbangkan keseimbangan cairan, kadar nitrogen, dan kreatinin dalam darah atau 2,5-3.0 g/kgBB pada anak-anak.
- Lemak : <40% kalori nonprotein
atau 5-15% total kebutuhan energi.
- Mikroelemen (Zn, tembaga, Se)
- Vitamin (vit C, B1, B6, B12, A, E).
- Immunomodulator (leucine, glutamin, arginin, ornitin-αketoglutarat, asam lemak ω3).
Sebaiknya nutrisi enteral dimulai sesegera mungkin setelah periode
syok berakhir, biasanya hari kedua atau ketiga setelah kejadian luka bakar.
Namun penelitian menunjukkan bahwa nutrisi enteral sudah dimulai dari 6 jam
setelah trauma untuk mencegah translokasi bakteri yang dapat mencegah
terjadinya sindrom sepsis. Sehingga sebaiknya nutrisi enteral dimulai dengan
campuran hipokalori (0,5 kcal/ml) dengan kecepatan 25 ml/jam. Jika dapat ditoleransi
baik oleh pasien maka dapat dinaikkan 25 ml/8 jam sampai menjadi 100-120
ml/jam.
Evaluasi Terapi Nutrisi
- Tanda insufisiensi nutrisi awal adalah kelelahan pada pasien.
- Toleransi nutrisi enteral dilihat
dari: pengukuran residu volume gaster, perpindahan/transit ke intestine.
- Pemeriksaan lab rutin : kadar glukosa
darah, keseimbangan elektrolit, fungsi ginjal dan liver, pengukuran
metabolisme protein.
- Pengukuran antropometris : berat badan, BMI, mid-upper arm circumference.
- Keseimbangan nitrogen (jika fungsi ginjal masih baik) sebagai indicator status dan efisiensi nutrisi yaitu:
·
Nitrogen
loss = N urin + 8 mg/kgbb + 0,2 g N/%luas luka bakar.
·
Atau
dengan cara: N urin = ([urea urin x 0,08] / 2,14) + 4 g.
- Penanda status protein : albumin, transthyretin/prealbumin, retinol binding protein, CRP (penanda inflamasi).
Tag :
Pengetahuan Medis
0 Komentar untuk "NUTRISI PADA LUKA BAKAR"